MENU
icon label
image label
blacklogo

Film “Father Soldier Son”: Potret Menyentuh Pengungsian Militer, Tayang di Netflix

JUL 15, 2020@20:00 WIB | 1,587 Views

"Jika dia mati, aku akan membalas dendam.”

Film pengungsian garapan Catrin Einhorn dan Leslye Davis, kerjasama antara Netflix dan New York Times, menceritakan prajurit Brian Eisch yang dibawa ke Afghanistan untuk melayani negaranya, sementara kedua putranya bersedih karena ketidakhadirannya.

Richard Linklater pernah membuat film Boyhood 12 tahun lalu dan menceritakan kehidupan keluarga Amerika pada waktu itu. Kini film dokumenter baru Netflix, Father Soldier Son mengusung hal yang sama dalam rentang 10 tahun pengambilan gambar. Tetapi dengan satu perbedaan utama: Boyhood adalah fiksi, termasuk para aktornya, sedangkan dokumenter Netflix ini adalah kehidupan nyata. Keduanya menunjukkan prestasi pembuatan film yang brilian dan menarik, dan masing-masing mengesankan dengan caranya sendiri.

IDE BERBEDA

Father Soldier Son dibuat oleh divisi pembuatan film dan direktur-wartawan New York Times, Leslye Davis dan Catrin Einhorn. Awalnya mereka bertugas meliput informasi penyebaran batalyon militer selama setahun ke Asia Tengah dan Afghanistan saat mereka memerangi Taliban.

Namun kemudian berkembang ke hal yang lebih jauh, lebih ambisius dan pribadi. Mereka keluar dari kerangka kerja, dan berjumpa dengan Brian Eisch dan dua putranya yang masih kecil, Ishak, usia 12 tahun, dan Joey, usia 7 tahun pada saat itu.

Eisch mengalami kejadian buruk ketika ia ditembak di kaki dan dibawa pulang setelah dua bulan berurusan dengan cederan, yang akhirnya harus diamputasi.

Selama Eisch berada di luar negeri, putra-putranya tinggal bersama seorang paman. Sedangkan Ibunya kehilangan hak asuh dan tidak memiliki kontak dengan mereka selama dua setengah tahun. Selebihnya hanya tampak gambaran berbagai cobaan yang mereka alami dan terjadinya perubahan hidup mereka.

Issaac memiliki karakter introspektif, dan Joey lebih ramah. Keduanya berjuang mencari tahu siapa yang menyebabkan cedera ayahnya.

Setelah Brian Eisch kembali ke rumah, ia pun mulai fokus pada penyesuaian dengan kaki prostetiknya, dan menjadi ayah tunggal untuk dua anak laki-laki. Namun tak lama kemudian ia bertemu dengan Maria, dan menikah dengan Brian lalu mendapatkan seorang anak laki-laki lagi.

Sebuah potret perjuangan kehidupan yang gigih dan mengejutkan ketika sebuah tragedi baru terjadi. Banyak yang mengungkap bahwa film ini adalah sebuah kisah tentang ketidakhadiran, reuni, rehabilitasi, tragedi, dan kegembiraan.

SEPULUH TAHUN

Selama 10 tahun, para pembuat film telah merekam 300 jam, namun kemudian mengeditnya hingga 99 menit dengan gaya sinema yang sesungguhnya. Tentu saja itu juga memerlukan berbagai macam editing untuk memperhalus alur cerita oleh para sutradara. Tetapi pada akhirnya apa yang muncul adalah kisah sebuah keluarga Amerika yang diceritakan lugas, dan tampaknya tidak disensor.

Sesudahnya bisa ditebak bahwa kita seperti seekor lalat di dinding yang menonton keluarga Eisch dari dekat, mengikuti perjalanan kehidupan mereka yang luar biasa emosional. Hingga ada masa dimana kita bertanya pada ketahanan hati keluarga Brian Eisch, yang mengizinkan kisahnya diadaptasi ke dalam film ini.

Kita bisa melihat gambaran akibat dari kekejaman militer terhadap keluarga, khususnya, dan apa yang terjadi ketika sang putra mengikuti jejak ayahnya. Seperti Brian yang meyakini Issac tidak akan pernah berhasil di perguruan tinggi, karena ia melihat Issac lebih cocok bekerja di bidang pelayanan. Melalui mata Isaac kita melihat seorang pria muda yang tak begitu percaya diri, namun ia berani menempuh jalan yang sudah dikenalnya.

Film yang diproduseri oleh Nancy Gauss, Kathleen Lingo dan Kara Rozansky ini, bakal segera diluncurkan Netflix mulai Jumat. [eli/asl/timBX]

Tags :

#
netflix,
#
film netflix,
#
father soldier son,
#
catrin einhorn,
#
leslye davis